Kekurangan gizi akibat kelaparan yang disengaja oleh Israel, serta serangan udara, menewaskan puluhan warga Palestina dan jurnalis juga menjadi sasaran secara sengaja.
Gaza, neojds.online – Lima warga Palestina, termasuk seorang anak, meninggal akibat kekurangan gizi dalam 24 jam terakhir akibat blokade keras Israel atas Gaza, kata Kementerian Kesehatan, di tengah duka di dalam dan luar wilayah terkepung itu atas tewasnya sejumlah jurnalis yang dibunuh oleh Israel.
Kementerian pada Senin (11/08) mengatakan, sebagian besar korban ini meninggal dalam tiga minggu terakhir, ketika kelaparan yang dipaksakan Israel melanda seluruh populasi. Total korban tewas akibat kelaparan parah kini mencapai 222 orang, termasuk 101 anak.
Kantor berita Palestina Wafa kemudian melaporkan kematian seorang anak lainnya akibat kekurangan gizi, Mohammed Zakaria Khader (5 tahun), sehingga total korban dalam 24 jam terakhir menjadi enam orang.
UNRWA menyatakan, “Anak-anak di Gaza meninggal karena kelaparan dan pengeboman.”
“Seluruh keluarga, lingkungan, dan satu generasi sedang dihapuskan,” tulis badan PBB tersebut di media sosial. “Diam dan tidak bertindak berarti ikut bersekongkol. Saatnya pernyataan berubah menjadi tindakan, dan saatnya gencatan senjata segera dilakukan.”
Sedikitnya 46 warga Palestina tewas dalam serangan udara Israel di seluruh Gaza sejak Senin dini hari, termasuk enam orang yang sedang mencari bantuan, kata sumber medis kepada Al Jazeera.
Dalam salah satu serangan terbaru, Rumah Sakit al-Aqsa melaporkan empat warga Palestina tewas di wilayah selatan dan timur Deir el-Balah, Gaza tengah.
Palang Merah Palestina melaporkan tiga warga sipil tewas dan lainnya luka-luka dalam serangan Israel di lingkungan Zeitoun, Gaza bagian selatan.
Sementara itu, setiap hari pasukan Israel dan kontraktor AS terus menembaki warga Palestina yang mencari bantuan di titik distribusi yang dikelola oleh GHF, sebuah lembaga yang kontroversial dan didukung AS serta Israel.
Di antara korban tewas pada Ahad adalah putra Ismail Qandil. Berbicara di Rumah Sakit al-Shifa, Gaza City, Qandil mengatakan putranya tidak bersenjata dan sedang mencari makanan ketika dibunuh.
“Ia tidak membawa peluru, tidak ada senjata untuk menembak. Apa yang kami lakukan? Apa yang kami perbuat sehingga ini terjadi pada kami? Cukup sudah kelaparan dan genosida ini,” katanya.
“Kami mengalami kelaparan. Kami disembelih. Kami tidak sanggup lagi. Kami mengirim anak-anak kami untuk mencari makanan, dan mereka membunuhnya. Kami bukan anggota perlawanan, bukan anggota kelompok apa pun. Kami sedang dihancurkan.”
Israel Bunuh Jurnalis Palestina
Perang Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 61.499 orang dan melukai 153.575 orang sejak 7 Oktober 2023. Korban termasuk sedikitnya 270 jurnalis dan pekerja media.
Gelombang duka dan kecaman muncul setelah pembunuhan lima staf Al Jazeera Arabic di Gaza, termasuk koresponden ternama Anas al-Sharif, dalam serangan drone pada Minggu malam yang menghantam tenda jurnalis di depan gerbang utama Rumah Sakit al-Shifa, Gaza City.
Serangan ini terjadi beberapa hari setelah Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi, Irene Khan, memperingatkan tentang “tuduhan tak berdasar dari militer Israel” terhadap al-Sharif, setelah Israel berulang kali dan secara salah menuduh reporter berusia 28 tahun itu sebagai anggota Hamas.
Khan mengatakan bahwa Israel membunuh al-Sharif karena pekerjaannya sebagai jurnalis, dan tuduhan bahwa ia anggota Hamas sama sekali tidak berdasar.
“Kalau mereka punya bukti nyata, bukankah mereka akan segera mengungkapkannya di hadapan dunia internasional? Tentu saja. Tapi mengapa mereka tidak melakukannya? Karena mereka tidak punya bukti itu,” ujarnya.
“Mereka hanya berkata bahwa setiap jurnalis yang meliput Gaza pasti anggota Hamas, sama seperti siapa pun yang mengkritik Israel pasti ‘anti-Semit’.”
Meron Rapoport, jurnalis senior Israel dan editor situs berita Local Call, mengatakan tuduhan militer Israel itu “tidak masuk akal sama sekali”. Menurutnya, Israel kemungkinan menargetkan al-Sharif karena dua alasan utama: perannya yang penting dalam “memberitahu dunia bahwa Gaza sedang mengalami kelaparan”, yang “sangat merugikan Israel secara internasional”; dan karena rencana perebutan Gaza City, yang ingin mereka minimalkan liputannya.
“Semakin sedikit mata, kamera, dan suara yang mendokumentasikan apa yang bisa menjadi pembantaian… semakin baik bagi Israel,” kata Rapoport.
Koresponden Al Jazeera Tareq Abu Azzoum mengatakan para jurnalis bekerja tanpa henti untuk mengungkap fakta di lapangan dan memberi tahu dunia tentang apa yang terjadi di Gaza.
Mengenai rekannya al-Sharif dan Mohammed Qreiqeh, Abu Azzoum mengatakan pembunuhan mereka secara sengaja dipandang di Gaza “sebagai upaya membungkam dua suara paling berani.” []
Sumber: AL JAZEERA