Jakarta,neojds.online _Pajak dalam sistem sekuler kapitalisme adalah instrumen utama dan pertama pemasukan dana untuk pemerintah. Pembiayaan operasional kenegaraan seluruhnya dibiayai oleh pajak. Termasuk dalam mengurusi urusan rakyat, pun dibiayai oleh pajak
Alhasil, pajak menjadi sangat penting posisinya dalam sistem sekuler kapitalisme, sebab ia memegang peranan utama dalam urusan pendapatan negara.
Pada tataran realitasnya, penerimaan pajak tidak pernah bisa menutupi seluruh kebutuhan belanja negara. Ketidakcukupan ini disempurnakan oleh dana yang berasal dari utang luar negeri. Alhasil sistem sekuler kapitalisme tidak akan pernah mampu mengurusi urusan rakyat dengan pengurusan yang manusiawi, sesuai dengan fitrah manusia memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Sebab sistem sekuler kapitalisme akan senantiasa mengalami defisit anggaran negara, yang akhirnya ditutupi dengan utang ribawi.
Dua instrumen sebagai pintu masuk pendapatan negara, yaitu pajak dan utang luar negeri, nyatanya memberatkan rakyat, menambah beban rakyat yang telah berat semakin berat.
Sebab pajak diambil dari rakyat dengan beragam jenis dan nilainya. Utang luar negeri diperoleh dari bantuan negara lain, yang penuh dengan nilai spekulasi sebab utang ribawi meminta banyak persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga negara dan pemerintah terpaksa harus menggadaikan semua yang dimilikinya demi mendapatkan utang luar negeri. Alhasil sumber daya alam vital dikuasai oleh negara lain, yang berimplikasi besar terhadap penderitaan rakyat yang tiada akhir. Sebab terhalangnya rakyat dari memperoleh manfaat dari sumber daya alam yang dimilikinya, akibat pengelolaannya dikuasai oleh negara lain sebagai pemberi bantuan utang ribawi.
Karenanya banyak upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak, hingga menyamakannya dengan zakat. Padahal menyamakan pajak dengan zakat adalah tidak tepat.
Jikapun disamakan sebagai sama-sama sebuah kewajiban yang harus ditunaikan oleh rakyat. Tetap saja tidak selevel, sebab zakat yang diwajibkan oleh Allah swt untuk dikeluarkan oleh setiap muslim, nilainya tidak akan sampai memberatkan manusia, sebab memiliki syarat dikeluarkan jika telah sampai nishab dan haulnya. Jika belum sampai pada nishab dan haulnya, maka tidak ada kewajiban untuk mengeluarkannya.
Firman Allah SWT:
خُذۡ مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيۡهِمۡ بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡؕ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمۡؕ وَاللّٰهُ سَمِيۡعٌ عَلِيۡمٌ
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. At -Taubah : 103).
Dalam sebuah riwayat:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُثَنَّى الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّ أَنَسًا حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ هَذَا الْكِتَابَ لَمَّا وَجَّهَهُ إِلَى الْبَحْرَيْنِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَالَّتِي أَمَرَ اللَّهُ بِهَا رَسُولَهُ فَمَنْ سُئِلَهَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ…………………………………………. .فَإِذَا كَانَتْ سَائِمَةُ الرَّجُلِ نَاقِصَةً مِنْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَاحِدَةً فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا وَفِي الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْرِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ إِلَّا تِسْعِينَ وَمِائَةً فَلَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَ
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Al Mutsanna Al Anshariy berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku dia berkata, telah menceritakan kepada saya Tsumamah bin ‘Abdullah bin Anas bahwa Anas menceritakan kepadanya bahwa Abu Bakar radhiallahu’anhu telah menulis surat ini kepadanya (tentang aturan zakat) ketika dia mengutusnya ke negeri Bahrain, “Bismillahir rahmaanir rahiim. Inilah kewajiban zakat yang telah diwajibkan oleh Rasulullah ﷺ terhadap kaum muslimindan seperti yang diperintahklan oleh Allah dan rasul-Nya tentangnya, maka barang siapa dari kaum muslimin ………………………………………….Dan bila seorang pengembala memiliki kurang satu ekor saja dari empat puluh ekor kambing maka tidak ada kewajiban zakat baginya kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkannya. Dan untuk zakat uang perak (dirham) maka ketentuannya seperempat puluh bila (telah mencapai dua ratus dirham) dan bila tidak mencapai jumlah itu namun hanya seratus sembilan puluh maka tidak ada kewajiban zakatnya kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkannya”. (HR. Bukhari 1362)
Sedangkan pajak dalam sistem sekuler kapitalisme tidak mengenal istilah nishab dan haul, semua rakyat wajib bayar pajak, baik kaya maupun miskin, hingga jika tidak taat pajak, urusannya akan sulit.
Demikianlah, betapa sistem sekuler kapitalisme sangat tidak rasional hingga sampai pada mewajibkan kalangan yang tidak mampu untuk tetap membayar pajak, dan memberikan sanksi akan mempersulit urusan siapapun yang tidak taat pajak, baik dari kalangan kaya maupun miskin. Karena itu menjadi hal yang sangat aneh jika kita masih mempertahankan pajak ala sistem sekuler kapitalisme.
Telah nampak nyata bahwa penerimaan pajak tidak akan menutupi kebutuhan belanja negara, ditambah banyaknya kasus korupsi, dan belanja negara yang dinilai mubazir semisal besarnya belanja negara untuk gaji dan tunjangan pada para pejabat negeri yang nilainya sangat fantastik. Padahal uang negara diperoleh dengan pajak dan utang luar negeri yang sangat ribawi.
Karenanya, menjadi kebutuhan dan kewajiban, apalagi jika ia seorang muslim. Untuk meninggalkan dan mengganti sistem sekuler kapitalisme, dengan sistem yang lebih manusiawi sesuai fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa yaitu sistem Islam kaffah, termasuk dalam mengatur masalah pendapatan dan belanja negara, kita butuh pada aturan Islam kaffah yang diterapkan oleh negara.
Dalam Islam, pendapatan negara berasal dari banyak pintu. Antara lain dari harta milik negara, harta umum milik rakyat (masyarakat), dan harta individu rakyat.
Harta milik negara berasal dari pos fai’, kharaj, ghanimah, khumus. Harta ini digunakan untuk kepentingan operasional kenegaraan termasuk untuk membayar gaji para pegawai negara, dan membayar tunjangan untuk para pejabat negara, sesuai kebutuhan hidupnya, bukan gaya hidup.
Adapun harta milik umum, diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang hasilnya akan digunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat dan akan diberikan dalam bentuk subsidi atau zat hasil pengelolaan langsung sumber daya alamnya. Digunakan untuk membangun fasilitas yang dibutuhkan oleh rakyat, berupa kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Adapun harta individu rakyat adalah harta dalam bentuk penunaian kewajiban zakat, jika telah sampai pada nishob dan haulnya. Berupa zakat pertanian, zakat perdagangan, zakat harta, dan semua jenis zakat yang telah ditetapkan syariat, termasuk besaran yang harus dikeluarkan.
Jika penerimaan negara dari pos harta milik negara, harta milik umum dan harta milik individu yang telah ditetapkan oleh syariat, tidak mencukupi kebutuhan belanja negara dalam mengurusi urusan rakyatnya. Maka negara menetapkan pajak yang dipungut dari kalangan orang-orang kaya saja yang nilainya hanya sebesar 2,5% dari harta simpanan orang kaya tersebut. Dan pungutan pajak dihentikan manakala negara telah memiliki harta yang cukup dalam mengurus urusan seluruh rakyatnya.
Demikianlah, terdapat perbedaan yang sangat besar tentang konsep pajak dan zakat dalam sistem sekuler kapitalisme dan sistem ekonomi Islam. Karenanya, tidak ada jalan lain untuk menutupi defisit anggaran negara untuk mendongkrak pendapatan negara, kecuali dengan kembali pada Islam. Sebab hanya sistem Islam kaffah saja yang memiliki solusi yang sempurna dan paripurna atas seluruh masalah manusia termasuk dalam mengatasi masalah defisit anggaran belanja negara. Wallahua’lam.
Ayu Mela Yulianti, S.Pt., Pegiat Literasi dan Pemerhati Kebijakan Publik.

