Jakarta,neojds.online _Walau berusaha dihilangkan dari lanskap sejarah, Palestina tak pernah padam. Kita semua, atas dasar kemanusiaan, wabilkhusus atas dasar keimanan, usaha-usaha telah ditempuh dari berbagai jalan. Namun nyatanya Palestina bukan hanya proyek sepihak, sisi perlawanan dari pihak lawan dan sekutunya juga masih tak menunjukkan tanda-tanda sedikit membuka mata
Satu-satunya jalan yang tersisa hanyalah akal kolektif kita sebagai kesaksian bahwa Palestina adalah bangsa yang besar, indah, dan juga menjadi salah satu tonggak sejarah kemajuan peradaban Timur. Memang, istilah Barat dan Timur seperti terdengar usang, tapi menurut saya dua istilah itu masih menjadi kisah keberlanjutan perang pengetahuan dan kekuasaan sampai hari ini.
Saya teringat apa yang ditulis Edward Saeed, “Timur bukanlah subjek. Hubungan Barat dan Timur adalah hubungan kekuasaan, dominasi, dengan berbagai tingkat hegemoni yang kompleks.”
Tulisan Saeed itu mungkin telah tertimpuk oleh kritik-kritik pemikirannya hingga saat ini. Tapi apa yang kita lihat hari ini tak ayal ada prediksi yang tepat dari pemikirannya di tahun 90-an itu. Perang narasi seperti; Hamas adalah teroris, masa depan demokrasi Israel yang jauh lebih sehat di wilayah Timur Tengah, serta perang kebenaran sejarah tentang tanah yang dijanjikan, adalah serangkaian martil kebenaran wacana yang tengah diperebutkan kebenarannya.
Dua sayap perlawanan
Alih-alih memercayai media yang sering datang sesuai dengan ideologi kepentingan kelompoknya, saya rasa karya Edward Saeed dan Mahmoud Darwish lebih kredibel untuk diteguk sebagai suara-suara kebenaran sejati.
Edward Saeed (1935-2003) dan Mahmoud Darwish (1941-2008) adalah dua cendekiawan Palestina dengan darah juang mereka di atas kertas untuk kemerdekaan bangsanya. Saeed merepresentasikan karpet merah seorang ilmuwan dengan segenap tulisan-tulisannya tentang kritik pada Barat atas keangkuhan narasinya, sedangkan Darwish merepresentasikan tulisan-tulisan perlawananan di atas syair-syair yang indah.
Dari keduanya, Palestina semacam obituari ingatan pada keangkuhan narasi barat terhadap tanah kelahiran mereka. Darwish pernah menulis “Ala Hadzihil Ardh, Sayyidatul Ardh, Ummu al-Bidayaat, Ummu al-nihayaat”—di atas tanah ini, ada sang ibu kehidupan, ibu dari semua permulaan, dan ibu dari semua akhiran.
Bagi Darwish, Palestina ditakdirkan menjadi sebuah tanah yang melahirkan perlawananan, dan tanah yang ditakuti barat. Palestina bukan sejarah tanah kosong, ia jantung peradaban timur serta rahim agama-agama samawi melahirkan sinar-sinar yang terang benderang. Tanah para nabi, dan juga tanah yang menyatukan emosi miliaran umat Muslim dan negara-negara tertindas di dunia.
Dalam karya lain ia kembali berteriak. Sajjil ana ‘Araby! Ana Ismun Bi Laa Laqabi. Shaburun Fii Bilaaadin Kullu Maa Fiihaa Ya’iisyu Bifaurati al-Ghadabi—catat! aku orang Arab. Aku nama tanpa gelar. Aku sabar di tanah yang seluruhnya hidup dalam bara kemarahan. Judzurii Qabla Miiladi al-zamaani rassat, wa qabla tafattuhi al-hiqabi,—akar-akarku telah bersemi sebelum waktu lahir, sebelum zaman tumbuh.
Darwish mempertegas, anak-anak Palestina dilahirkan dengan jiwa yang besar. Mereka lahir dari kesederhanaan, tanah yang subur, serta kesejahteraan hadir di lubuk setiap warga negara. Mereka cinta Palestina, hidup dan mati. Pengasingan, penghapusan identitas, hingga penyiksaan, hanya akan melahirkan martil-martil perlawanan kian menggema.
Edward Saeed mengiaskan yang serupa. Pengasingan-pengasingan oleh barat telah lakukan hanya sekadar tujuan muatan politis untuk memberi jarak bahwa di dunia ini ada istilah “kita” dan “mereka.” Pemikiran kritik orientalisme telah ia tulis, melahirkan sederet narasi pembelaan terhadap tanah kelahirannya, walau ia sendiri harus mendaras hidup sebagai eksil yang tak punya rumah untuk membelanya.
Darwish pun menelan takdir yang sama. Ia telah terusir. Ia semacam Palestina yang hinggap di banyak tanah rerumputan hijau, namun tak pernah berpijak dengan kakinya. Keberhasilan kekuatan narasi superior barat telah membuat lanskap Timur Tengah menjadi lautan api.
Tahun 1970, Darwish bagai syair pengembara yang limbung. Mesir, Lebanon, Tunisia, hingga Paris ia jajaki, namun semuanya tak memberinya banyak kehangatan. Palestina bersemayam di hatinya, juga di atas kertas-kertas syairnya.
Sebuah narasi ketakutan sejarah
Apa yang telah dilakukan Saeed dan Darwish semakin membuat kekhawatiran mendalam bagi para lawan geopolitik Timur Tengah. Darwish di Paris, dan Saeed di Amerika, sama-sama melempar cermin pada sejarah dunia; mereka memperlihatkan wajah kolonialisme lama yang masih terus hidup, wajah penindasan yang tak pernah selesai, baik fisik maupun narasi pengetahuan.
Palestina benar-benar menjadi tiang utama. Setiap kali nama Palestina disebut, dunia teringat pada sejarah panjang penjajahan, pengusiran, dan perlawanan. Dan memori itu benar-benar berbahaya, karena secara tak langsung telah membongkar narasi kuat bahwa peradaban Barat adalah penjunjung perdamaian dan hak asasi manusia.
Hari ini kita tengah bertarung narasi. Kita duduk hanya terdiam memilah pemberitaan Palestina dari satu kubu sampai kubu yang lain; terorisme, HAM, perdamaian dunia, hingga terma-terma yang terkadang pro dan terkadang kontra. Tapi sungguh apa yang diwariskan Saeed dan Darwish adalah sebuah kebenaran.
Jika setiap sisi dunia saling berusaha menghapus sejarah; memadamkan, mematikan, dan menggelapkan, maka suara-suara kebenaran melalui pena-pena penderitaanlah yang menyingkapkan cahaya. Sungguh, Darwish dan Saeed telah mengabadikan nama dan bangsanya sampai kapanpun. Tabik []

