Tarbiyah bukan sekadar mengurus makan, pakaian, dan sekolah, tetapi membentuk manusia yang utuh akal yang cerdas, hati yang bersih, dan akhlak yang kokoh.
Al-Qur’an menggunakan istilah tarbiyah secara maknawi ketika Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Rabb Pengasuh, Pendidik, dan Pemelihara seluruh alam. Dalam Surat Asy-Syu’ara ayat 18, Fir’aun berkata kepada Musa: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara kami sebagai seorang anak…”
Kata rabba di sini mengandung makna membesarkan, membimbing, dan memelihara hingga mencapai tujuan yang diinginkan. Inilah esensi tarbiyah sebuah proses bertahap yang menumbuhkan potensi hingga matang, bukan sekadar memberi instruksi.
Rasulullah ï·º adalah teladan tertinggi tarbiyah. Beliau mendidik para sahabat bukan dengan ceramah panjang semata, tetapi dengan keteladanan, sentuhan emosional, dan pembiasaan yang konsisten. Abdullah bin Abbas r.a., yang sejak kecil berada di bawah bimbingan Nabi ï·º, pernah mendapat nasihat yang singkat namun membentuk jalan hidupnya: “Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu…” (HR. Tirmidzi)
Hanya satu kalimat, tetapi diulang dan dihidupkan dalam keseharian, hingga menjadi prinsip hidup yang kokoh.
Bagi orang tua modern, tarbiyah adalah seni menggabungkan nilai Qur’ani dengan metode yang relevan dengan zaman. Kita mungkin menggunakan teknologi, tetapi nilainya tetap bersumber dari wahyu. Misalnya, mengajarkan adab berbicara melalui rekaman kisah Nabi, atau menanamkan rasa syukur lewat proyek keluarga seperti menulis “jurnal nikmat harian.”
Namun, tarbiyah memerlukan kesabaran. Sebagaimana tanaman tidak langsung berbuah setelah ditanam, anak pun membutuhkan waktu untuk menumbuhkan akhlak. Orang tua tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga pengawas yang penuh kasih, motivator yang sabar, dan teladan yang istiqamah.
Pada akhirnya, tarbiyah adalah perjalanan yang lebih dulu membentuk orang tua sebelum membentuk anak. Kita mungkin berharap anak menjadi saleh, tapi prosesnya menuntut kita menjadi orang tua yang saleh lebih dulu. Sebab anak belajar bukan dari kata-kata semata, tetapi dari kehidupan yang mereka saksikan setiap hari.
Dan ketika kita menunaikan tarbiyah dengan ikhlas, kita sedang menanam benih yang kelak akan berbuah di dunia dan akhirat buah yang manisnya dirasakan di hati, dan pahalanya mengalir tanpa henti, bahkan saat kita telah kembali kepada Rabb kita. []
Fakhurrazi Al Kadrie, Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Pontianak.