KCIC: Dari Ambisi Jokowi Jadi Beban Negara — Saatnya Pertanggungjawaban Politik, Restrukturisasi Ekonomi, dan Audit Hukum*

Redaksi
Agustus 23, 2025 | Agustus 23, 2025 WIB Last Updated 2025-08-23T01:28:38Z
Catatan Agus M Maksum

“KCIC adalah bukti salah kelola negara: janji tanpa APBN berubah jadi beban rakyat. Audit forensik harus menuntut pertanggungjawaban Jokowi, Luhut, dan DPR periode lalu. Baru setelah aset pribadi mereka disita, restrukturisasi dan negosiasi utang layak dibicarakan.”

Saya kira, inilah proyek yang paling sering disebut: tanpa APBN. Itu kata Jokowi dulu. Bahkan, tanpa jaminan negara. Kini, semua orang tahu: dua-duanya tidak benar.

Di DPR, Dirut KAI Bobby Rasyidin sampai blak-blakan: KCIC adalah bom waktu. KAI, yang tadinya sehat, kini megap-megap. Padahal, kereta api itu bisnisnya sederhana: kalau diurus serius, pasti untung. Tiket pasti laku, subsidi bisa diatur, arus kas bisa stabil. Tapi begitu ditambah beban kereta cepat, laba KAI pun menguap.

Saya masih ingat, waktu Jepang datang menawarkan Shinkansen. Hitungannya realistis, bahkan agak konservatif. Tapi pemerintah menolak. Lalu Cina datang dengan janji: lebih murah, lebih cepat, dan tanpa jaminan. Jokowi langsung sreg. Luhut Binsar Panjaitan pasang badan. Dialah juru bicara proyek ini: menghadapi kritik Faisal Basri, membalas oposisi, meyakinkan publik.

Kini, biaya proyek membengkak: dari US$6 miliar jadi US$7,27 miliar. Cost overrun: sekitar US$1,2 miliar. Tiga perempat dari pinjaman itu datang dari China Development Bank. Artinya, kita bukan hanya terikat pada utang, tapi juga kurs dolar. Sementara pendapatan? Rupiah. Inilah mismatch yang bikin kepala pening.

Lebih ironis lagi, target penumpang tidak pernah tercapai. Studi optimis menyebut 76 ribu penumpang per hari. Pesimisnya 50 ribu. Realisasi? 20 ribu. Itu pun di hari-hari ramai. Artinya, bahkan jika semua kursi penuh, butuh 139 tahun untuk balik modal—seperti yang dulu dihitung Faisal Basri. Waktu itu banyak yang menertawakan. Sekarang? Nyatanya, yang tertawa adalah angka-angka.

Lalu siapa yang salah?
πŸ‘‰ Jokowi: karena ia yang memutuskan, menolak Jepang, memilih Cina, dan menjual narasi tanpa APBN.
πŸ‘‰ Luhut Binsar Panjaitan: karena dialah panglima proyek ini. Membela mati-matian, menepis semua kritik, seolah semua baik-baik saja.
πŸ‘‰ DPR periode lalu: karena mereka lalai. Fungsi pengawasan hilang, janji tanpa APBN dibiarkan mulus masuk ke telinga rakyat.

Lalu, apa jalan keluarnya? Jangan buru-buru bicara restrukturisasi utang. Jangan dulu bicara Danantara ambil alih. Pertama-tama, buka audit forensik. Telusuri siapa yang mengubah skema, siapa yang menutup mata, siapa yang membiarkan cost overrun begitu saja. Kalau ada salah kelola, bahkan jika bukan korupsi, tetap harus ada pertanggungjawaban. Kalau perlu, sita aset pejabat yang terlibat.

Baru setelah itu, bicara solusi ekonomi. Restrukturisasi dengan CDB mutlak. Negosiasi: tenor panjang, bunga rendah, grace period diperluas. Lalu pisahkan prasarana dan operasi. Biar Danantara jadi InfraCo, fokus pada aset dan pembiayaan. KCIC jadi OpCo, fokus pada penumpang. Sehingga risiko lebih terkendali.

Dan jangan lupakan TOD. Kereta cepat tanpa kawasan pendukung hanyalah besi panjang yang melaju. Monetisasi stasiun, lahan sekitar, hak penamaan, ritel—semua itu harus jadi mesin uang. Kalau tidak, kita hanya menunggu ledakan bom waktu berikutnya.

Dan terakhir, jangan ulangi kesalahan dengan memperpanjang jalur ke Surabaya. Itu namanya double down on failure. Kalau Bandung saja rugi, bagaimana Surabaya yang lima kali lebih jauh dan lima kali lebih mahal?

Bottom line:

Secara politik: Jokowi dan Luhut harus dimintai pertanggungjawaban. DPR juga.

Secara ekonomi: restrukturisasi utang + model baru InfraCo–OpCo.

Secara hukum: audit forensik, transparansi, dan kalau terbukti lalai—penyitaan aset.

Kalau tidak, kereta cepat ini akan jadi monumen dosa politik. Simbol ambisi yang berubah jadi beban generasi.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • KCIC: Dari Ambisi Jokowi Jadi Beban Negara — Saatnya Pertanggungjawaban Politik, Restrukturisasi Ekonomi, dan Audit Hukum*

Trending Now