Husnul khatimah: Mencari Ketenangan di Tengah Berisiknya Dunia dan Manusia

Redaksi
Agustus 22, 2025 | Agustus 22, 2025 WIB Last Updated 2025-08-22T10:43:50Z
Jakarta,neojds.online _Siapa sih, yang tidak ingin hidup tenang? Di balik ambisi manusia terhadap pencapaian dan pengakuan, ada satu kebutuhan mendasar yang selalu dicari, yaitu ketenangan. Namun, mencari ketenangan di zaman ini seperti mencari cahaya lilin di tengah sorotan lampu stadion. Terlalu banyak gangguan yang membuat kita lelah, kehilangan fokus, bahkan kehilangan arah.

Dunia hari ini terlalu bising. Bukan hanya oleh suara kendaraan, iklan digital, atau notifikasi media sosial, tetapi juga oleh ekspektasi, tuntutan, komentar, penilaian, dan obsesi untuk terlihat “sempurna”. Padahal, tidak semua hal yang baik harus berwujud sempurna.

Di tengah kebisingan itu, manusia pun menjadi ikut “berisik”. Bukan hanya suaranya, tetapi pikiran, keluhan, emosi, dan kecemasannya. Bahkan ketika tubuh diam, pikirannya tidak henti berputar. Seperti mesin yang kelelahan tapi tidak pernah berhenti. Padahal, Allah SWT, telah memberikan petunjuk yang meneduhkan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

Ayat ini mengingatkan kita bahwa ketenangan tidak dicapai dengan mematikan kebisingan luar, tetapi dengan menyalakan keteduhan dari dalam. Namun seringnya, kita terjebak dalam keinginan untuk mengontrol semua hal. Seperti mengontrol apa yang orang pikirkan, bagaimana mereka memperlakukan kita, bagaimana dunia seharusnya memperlakukan kita. Inilah sumber dari kelelahan mental yang tidak kunjung reda.

Ada dua jenis hal dalam hidup, yakni yang bisa kita kendalikan, dan yang tidak bisa kita kendalikan. Masalahnya, kita terlalu sibuk mengurusi yang kedua. Akhirnya, kita kehilangan energi untuk memperbaiki yang pertama. Rasulullah Saw, bersabda, “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.” (HR. Tirmidzi).

Ini bukan sekadar ajakan untuk diam, tetapi seruan agar bijak memilah mana yang layak diperhatikan dan mana yang harus dilepas.

Contoh konkretnya terlihat jelas di media sosial. Seseorang bisa merasa hancur hanya karena komentar negatif dari akun yang tidak dikenal. Ia mulai mempertanyakan dirinya, keputusannya, bahkan harga dirinya. Padahal, komentar itu tidak bisa ia kendalikan. Namun perasaannya? Bisa.

Masalah muncul ketika kita menyerahkan kendali hidup pada orang lain. Kita terlalu memusingkan validasi eksternal. Kita lupa bahwa harga diri dibangun dari dalam, bukan dari jumlah like atau pujian yang sementara.

Bahkan dalam konteks hubungan sosial, kita pun sering merasa kecewa karena berharap orang lain memperlakukan kita seperti kita memperlakukan mereka. Namun, bukankah Rasulullah Saw., telah mengingatkan kita untuk tetap berbuat baik, meski balasannya tak sepadan?



Ketika seseorang mulai terlalu keras menuntut kehidupan, tanpa sadar ia menekan dirinya sendiri. Ia ingin semua sesuai rencana, tanpa celah kesalahan. Padahal, hidup memang penuh ketidaksempurnaan. Allah SWT, sendiri berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4).

Kita tidak bisa menghindar dari kepayahan hidup, tetapi kita bisa memilih bagaimana menghadapinya. Tenang bukan berarti tidak ada masalah. Namun tenang berarti tidak membiarkan masalah menguasai hati.

Dalam dunia kerja misalnya, banyak yang merasa cemas karena rekan kerja menyebalkan, atasan tidak menghargai, atau lingkungan yang tidak suportif. Tetapi hal-hal itu tidak sepenuhnya dalam kendali kita. Yang bisa kita kendalikan adalah profesionalisme kita, respons kita, dan pilihan kita untuk tetap waras.


Ketika terlalu sering memikirkan hal-hal yang tidak bisa diubah, seseorang bisa mengalami gangguan psikosomatik, seperti jantung berdebar, kepala pusing, perut mulas, bahkan panik tidak beralasan. Tubuh akhirnya “berisik” karena hati dan pikirannya tidak lagi seimbang.

Dalam psikologi positif, dikenal istilah locus of control, apakah kita mengandalkan kendali dari luar (eksternal) atau dari dalam diri (internal). Islam sejak awal telah mengajarkan internal locus, yakni tanggung jawab pribadi atas niat, amal, dan kesabaran.

Sayangnya, dunia hari ini mendorong kita untuk hidup reaktif, bukan reflektif. Padahal, ketenangan itu butuh ruang hening. Butuh jeda. Butuh keberanian untuk tidak selalu ikut arus. Seperti dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang difitnah dan dipenjara padahal tidak bersalah. Ia tidak menyalahkan orang lain atau menyerah pada situasi. Ia tetap tenang, tetap menjaga diri, dan akhirnya diangkat derajatnya oleh Allah SWT.

Begitu pula dalam kehidupan kita. Kita mungkin tidak bisa mengontrol siapa yang memfitnah, membenci, atau meninggalkan kita. Namun kita bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari kebisingan itu.

Tenang bukan berarti pasrah tanpa usaha. Tenang adalah bentuk tertinggi dari keimanan, karena kita percaya bahwa setiap yang terjadi sudah dalam rencana terbaik dari Allah SWT. Kita berusaha, kita tawakal. “Dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pelindung.” (QS. Al-Ahzab: 3).

Maka, jika hidup terasa terlalu bising, baik dalam dunia, dalam sosial media, bahkan dalam diri sendiri, berhentilah sejenak. Dengarkan keheningan. Dengarkan suara hati yang ingin damai. Dan kembalilah pada pengendalian diri. Karena sejatinya, ketenangan bukan dicari ke luar, tetapi dibangun dari dalam.[]

Husnul Khotimah
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Husnul khatimah: Mencari Ketenangan di Tengah Berisiknya Dunia dan Manusia

Trending Now